Minggu, 03 April 2011

Jika Bukan Ahlinya Yang Mengurus, Tunggulah Kehancuran!

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan? ' Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (BUKHARI - 6015)
Sungguh benarlah ucapan Rasulullah SAW di atas. "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Amanah yang paling pertama dan utama bagi manusia ialah amanah ketaatan kepada Allah, Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam semesta dengan segenap isinya. Manusia hadir ke muka bumi ini telah diserahkan amanah untuk berperan sebagai khalifah yang diwajibkan membangun dan memelihara kehidupan di dunia berdasarkan aturan dan hukum Yang Memberi Amanah, yaitu Allah subhaanahu wa ta’aala.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al-Ahzab 72)
Amanat ketaatan ini sedemikian beratnya sehingga makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi dan gunung saja enggan memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya. Kemudian ketika ditawarkan kepada manusia, amanat itu diterima. Sehingga dengan pedas Allah ta’aala berfirman: Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” Sungguh benarlah Allah ta’aala...! Manusia pada umumnya amat zalim dan amat bodoh. Sebab tidak sedikit manusia yang dengan terang-terangan mengkhianati amanat ketaatan tersebut. Tidak sedikit manusia yang mengaku beriman tetapi tatkala memiliki wewenang kepemimpinan mengabaikan aturan dan hukum Allah ta’aala. Mereka lebih yakin akan hukum buatan manusia –yang amat zalim dan amat bodoh itu- daripada hukum Allah ta’aala. Oleh karenanya Allah hanya menawarkan dua pilihan dalam masalah hukum. Taat kepada hukum Allah atau hukum jahiliah? Tidak ada pilihan ketiga. Misalnya kombinasi antara hukum Allah dengan hukum jahiliah.
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah 50)
Dewasa ini kita sungguh prihatin menyaksikan bagaimana musibah beruntun terjadi di negeri kita yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Belum selesai mengurus dua kecelakaan kereta api sekaligus, tiba-tiba muncul banjir bandang di Wasior, Irian. Kemudian gempa berkekuatan 7,2 skala richter di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Lalu tiba-tiba kita dikejutkan dengan erupsi gunung Merapi di Jawa Tengah. Belum lagi ibukota Jakarta dilanda banjir massif yang mengakibatkan kemacetan dahsyat di setiap sudut kota, bahkan sampai ke Tangerang dan Bekasi. Siapa sangka banjir di Jakarta bisa terjadi di bulan Oktober, padahal jadwal rutinnya biasanya di bulan Januari atau Februari..?
Lalu bagaimana hubungan antara berbagai musibah dengan pengabaian hukum Allah? Simaklah firman Allahta’aala berikut:
 “Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah 49)
Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa Allah mengancam bakal terjadinya musibah bila suatu kaum berpaling dari hukum Allah. Dan tampaknya sudah terlalu banyak dosa yang dilakukan ummat yang mengaku beriman di negeri ini sehingga musibah yang terjadi harus berlangsung beruntun. Dan dari sekian banyak dosa ialah tentunya dosa berkhianat dari amanah ketaatan kepada Allahta’aala. Tidak saja sembarang muslim di negeri ini yang mengabaikan aturan dan hukum Allah, tetapi bahkan mereka yang dikenal sebagai Ulama, Ustadz, aktifis da’wah dan para muballigh-pun turut membiarkan berlakunya hukum selain hukum Allah. Hanya sedikit dari kalangan ini yang memperingatkan ummat akan bahaya mengabaikan hukum Allah.
Dan yang lebih mengherankan lagi ialah kasus banjir Jakarta. Sudahlah warga Jakarta dipaksa bersabar dalam menuntut janji kosong pak Gubernur -sang “Ahli” yang mengaku sanggup mengatasi banjir tahunan tersebut- tiba-tiba kita semua dikejutkan dengan tersiarnya kabar bahwa Fauzi bowo justeru terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Serikat Kota dan Pemerintah Daerah Asia Pasifik. Sebagaimana diberitakan di Media Online Pemprov DKI Jakarta http://www.beritajakarta.com
Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo akhirnya terpilih sebagai Presiden Serikat Kota dan Pemerintah Daerah Asia Pasifik atau United Cities and Local Goverments Asia Pasific(UCLG ASPAC). Bang Fauzi, begitu biasa ia disapa, terpilih secara aklamasi dalam kongres ke III, UCLG ASPAC yang berlangsung di ACT City, Hamamatsu, Jepang, 18-22 Oktober kemarin. Dalam kongres tersebut, sebanyak 200 delegasi pemerintah daerah dari negara se-Asia Pasifik seperti, Jepang, China, Korea Selatan, India, Taiwan, Australia, Thailand dan negara lainnya memilih Fauzi Bowo sebagai Presiden UCLG ASPAC yang akan menjalankan tugasnya hingga tahun 2012 mendatang. “Gubernur Fauzi Bowo terpilih secara aklamasi,” ujar Hasan Basri, Asisten Perekonomian dan Administrasi Sekdaprov DKI Jakarta, Senin (25/10).
Sungguh benarlah ucapan Rasulullah sholallahu’alaihi wa sallam "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu."

dikutip dari : www.eramuslim.com

PAKAIAN SHALAT


oleh Fatimah Ali Salsabila
Adzan ashar berkumandang, saatnya menghentikan aktivitas bekerja dan bersiap pergi ke musalla kecil yang ada di lorong bagian ujung kantor, kuambil peralatan shalat dan berjalan tidak tergesa dan tetap berharap masih mendapatkan pahala jama’ah.
Musalla kecil yang bisa memuat kurang lebih delapan orang dewasa menjadi sarana kami pula untuk bertatap muka dengan rekan lain yang berbeda ruangan, karena di kantor kami sebagian besar pekerja adalah perempuan maka secara otomatis musalla kami menjadi musalla khusus perempuan, legitimasi yang tanpa perlu publikasi.
Selepas mengambil wudhu, saya tunaikan shalat ashar dan alhamdulillah masih kebagian rezeki shalat berjama’ah. Selepas shalat, bergantian rekan yang lain shalat berjama’ah dan ada satu rekan yang kelihatan tergesa agar kebagian shalat jama’ah dan ups, lupa memperhatikan mukena yang dia pakai. Mau menegur, tapi dia sedang shalat, akhirnya hanya bisa mendo’akan dalam hati saat itu dan saya pun kembali ke ruangan.
Pakaian atau mukena layak shalat yang kadang kurang kita perhatikan apabila kita tidak membawa peralatan shalat dari rumah atau hijab (pakaian) kita yang kurang memenuhi syariat untuk shalat misalnya kotor tapi tetap saja kita shalat dengan pakaian tersebut.
Seringkali kita sembarangan memakainya, entah mukenanya kebalik, bawahan mukena bolong dan robek, mukena milik umum yang bau nya naudzubillah min dzalikkarena sudah tidak dicuci mungkin berbulan-bulan tapi tetap kita kenakan untuk menghadap Ilahi, menunaikan ibadah yang kelak akan dihisab pertama kali nanti, yaitu shalat.
Kadang kita lupa, kita hanya sekedar menunaikan kewajiban tapi lupa adabnya, lupa etika nya, lupa sopan santunnya, padahal kita mau menghadap kepada Yang Maha Menciptakan kita, Yang Maha Berkuasa, Yang Menggenggam jiwa kita. Ya, adab yang kadang kita lupa (kan) atau (ter) lupa, lain hal jika Presiden memanggil (serasa menteri, hehehe) atau ada orang penting dalam kehidupan kita memanggil, atau menghadiri undangan pernikahan tentu kita akan memakai pakaian terbaik, rapih, bagus dan bersih, dan tidak mungkin kita memakai pakaian yang rok nya bolong atau sobek, jilbabnya bau tak sedap atau pakaiannya seperti ketumpahan kopi yang hitam pekat, pastinya kita akan menyiapkan busana yang terbaik.
Sudah seharusnya itu pula yang kita persiapkan ketika Alloh memanggil kita melalui adzan yang berkumandang untuk shalat menghadapnya, menyiapkan jasad kita, hati, pikiran dan tentu saja pakaian yang kita kenakan untuk menghadapNYA saat shalat termasuk menyiapkan mukena layak shalat. Karena Alloh menyukai keindahan, dan mengenakan pakaian (mukena) layak shalat pun salah satu bentuk keindahan tadi disamping juga merupakan adab kita kepada Pemilik Jiwa kita, Alloh Subhanahu Wata’ala...
Mari mulai sekarang sama-sama kita persiapkan pakaian atau mukena layak shalat, dan tulisan ini pun menjadi pengingat penulis untuk berupaya menyiapkan pakaian atau mukena yang layak digunakan untuk shalat.
Wallahu’alam...
dikutip dari : www.eramuslim.com

Menjawab Salam di Kamar Mandi


Assalaamu'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh
Ustadz, Saya pernah mendengar ada dalil tidak diperbolehkannya kita menyebut Asma Allah Ta'ala di kamar kecil, termasuk membaca ayat-ayat Al Quran.
Pertanyaannya adalah bagaimana jika menjawab salam? Bisa dari tamu, ataupun menjawab telepon. Sementara ini karena darurat saya berijtihad menjawab dengan salam saja tanpa menyebut beserta rahmat Allah Ta'ala dan barokah Allah Ta'ala. Apakah ini benar?
Pertanyaan kedua bagaimana kalau kita tidak sengaja menyebut Nama Nya, seperti kita hampir terpeleset terus mulut kita reflek mengucapkan Astaghfirullah.
Jazakallah atas jawabannya.
Wassalaamu'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh
Abu Noura

Jawaban

Waalaikuussalam Wr Wb
Abu Noura dimuliakan Allah swt

Tidak dianjurkan memberikan salam terhadap orang yang berada di kamar kecil (tempat buang hajat) karena keadaannya tidak pantas untuk itu. Dan jika ada yang mengucapkan salam terhadap orang yang berada di kamar mandi maka tidak diwajibkan baginya untuk menjawabnya, ada pula yang mengatakan tidak usah dijawab… (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 6371)
Demikian halnya dengan menyebutkan nama Allah (dzikrullah) di kamar kecil maka tidaklah dibolehkan karena tempatnya yang tidak layak untuk itu.
Syeikh ibn Utsaimin mengatakan bahwa tidaklah seharusnya bagi seseorang menyebutkan nama Allah (dzikrullah) didalam kamar mandi karena tempat itu tidaklah tepat untuk dzikir.
Namun jika dirinya menyebutkan nama Allah didalam hatinya maka tidak masalah selama melafazhkannya dengan lisan. Dan jika tidak maka dianjurkan baginya untuk tidak mengucapkan dzikrullah dengan lisannya di tempat seperti itu dan hendaklah menunggu hingga ia keluar darinya.” (Majmu’ Fatawa asy Syeikh Ibnu Utsaimin juz XI hal 109)
Adapun jika menyebutkan nama Allah di tempat seperti itu karena tidak sengaja maka tidaklah mengapa.
Wallahu A’lam

dikutip dari : www.eramuslim.com